MA’ NENE, TRADISI MENGENANG LELUHUR
KEMUDIAN APAKAH MAYAT YANG DAPAT BERJALAN FAKTA ATAU FIKSI?
20/08/2005 18:00
Liputan6.com, Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla,
Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pertengahan Agustus
silam. Namun, kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin
pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi pada setiap penghuni warga
Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah ritual di tempat awal mula
sejarah dan misteri anak manusia yang mendiami Kecamatan Baruppu.
Ritual yang selalu digelar seluruh warga Baruppu untuk melaksanakan
amanah leluhur. Ma`nene, sebuah tradisi mengenang para leluhur,
saudara, dan handai taulan lainnya yang sudah meninggal dunia.
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong
Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk
kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek
menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah
jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya
tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk
merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya,
sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong
Rumasek pun melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan
selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan.
Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah.
Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari
waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya
berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati
yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring
binatang yang diburunya.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal
dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang
belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di
bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene,
seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai
perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat
yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu
pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal
mati tak boleh kimpoi lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka
menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih
dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan
Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan
berhak untuk kimpoi lagi.
Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma`nene yang
dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur
yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka
terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu
percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang
musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu
keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di
negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih
menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan
bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada
umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung
Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini
menetap di kawasan hutan Baruppu dan kimpoi dengan Dewi Kesuburan Bumi.
Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia,
mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat
kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang
suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang
meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu
akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma`nene, seperti
tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan
serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan
babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja
lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali
menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak
yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para
leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari
Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul
menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal
dunia setahun lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki
saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan
Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan
mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat
pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang
batu secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga
Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian.
Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena
itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan
merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun
lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari
tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran
kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di
Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan
melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan,
masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah
deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Pagi itu, mereka disuguhi makanan khas daging babi oleh keluarga
besar Johanes untuk disantap beramai-ramai. Setelah selesai,
masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mulai berangkat menuju
kuburan nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu
seperti umumnya, melainkan Pa`tane yakni rumah kecil yang digunakan
untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur.
Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang
dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada
leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk
memberi kebaikan. Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal
pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga
selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis
kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil
menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun
dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa`tane. Kini, keluarga Johanes pun
telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
(ORS/Tim Potret)
Sumber:
http://berita.liputan6.com/progsus/200508/107595/class=%27vidico%27